BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia adalah Sebuah ciptaan yang
paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal
dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. sungguh sangat unik
ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal
pencapaian diri atau pencapaian sebagai insane kamil, meskipun hal itu sulit
untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah, dengan dibekali
kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa
mencapainya. mengutip pernyataan Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengantar
(Murtadha Muthahhari, 1994) mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari
alam raya. Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani,
khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga terwujud
yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri), dan jism (tubuh).
Perlu kita
ketahui Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan
sebaik-baiknya penciptaan. meskipun dalam prakteknya manusia tidak bisa
sempurna tapi kitapun tetap berusah untuk menjadi pribadi-pribadi yang selalu
berusaha dan berbuat yang terbaik bagi yang lainya.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
yang dimaksud dengan Insan kamil?
2.
Bagaimanakah
pandangan ulama sufi mengenai Insan Kamil?
3.
Apasajakah
Ciri-ciri Insan Kamil?
4.
Bagaimana
kriteria dan cara pencapaian agar bisa menjadi Insan Kamil?
1.3.
Tujuan
1.
Untuk
memenuhi tugas pertama mata kuliah Akhlak Tasawuf
2.
Sebagai
bahan kajian para mahasiswa mengenai Akhlah Tasawuf khususnya tentang Insan
Kamil
3.
Mengetahui
cirri-ciri Insan Kamil
4.
Mengetahui
criteria dan cara pencapaiannya
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi Insan Kamil
Kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan rampung, dalam
tingkat atau derajat yang lebih tinggi, bahkan dari yang tinggi ini ada yang
lebih tinggi lagi dan seterusnya.
Kamal atau kamil adalah
sifat bagi sesuatu secara vertikal, sedangkan taam adalah sifat bagi sesuatu secara horisontal. Ketika sesuatu
telah sampai pada batas akhirnya atau selesai secara horisontal, maka dapat
dikatakan telah menjadi ta’am,
dan ketika sesuatu itu bergerak secara vertikal, maka ia telah memperoleh kamil.
Insan
Kamil secara umum, adalah manusia ta’am yang mulai melangkah secara
vertikal, sehingga menjadi kamil, lebih kamil lagi dan seterusnya hingga pada
batas akhir kesempurnaan ketika tak seorangpun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia
yang telah mencapai tingkat itu adalah manusia yang paling sempurna.
Insan kamil atau manusia
paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya Ibnu Arabi dan Abdul
Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini
dipahami kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi
Muhammad SAW.
Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran.
Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.
Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).
Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).
Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.
Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sini sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran.
Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.
Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).
Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).
Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.
Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sini sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Istilah al-insan
al-kamil pertama kali muncul dalam literatur islam pada abad VII H/XIII M atas
gasan Muhyi al-Din ibnu Arabi (560 H-638 H/1165 M-1240 M). Menurut ibnu Arabi,
al-insan al-kamil pada satu sisi adalah manusia sempurna yang menggambarkan
citra tuhan secara definitive dan utuh , karena pada dirinya tuhan bertajalli
secara sempurna.
2.2.
Pandangan Ulama Sufi dalam Permasalahan Insan Kamil
Para sufi meyakini Nabi Muhammad
SAW, seperti aqidah yang dianut Ibnu ‘Arobi, adalah satu-satunya makhluk Allah
yang telah sampai derajat uluhiyah dan bertahta di ‘arsy Allah SWT dan beliau
adalah nur yang darinya tercipta semua ciptaan Allah. Manusia dalam pandangan
sufi merupakan pancaran tuhan. Aliran Unionisme adalah aliran yang menganut
paham bahwa manusia adalah pancaran dari tuhan dan memiliki sifat-sifat
ketuhanan. Manusia atau hamba pada hakikatnya adalah sama dengan tuhan.
Insan Kamil menurut paham
Union-mistik ini adalah manusia yang telah sanggup melepaskan ikatan materinya,
sehingga memancarlah sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, dan kehidupannya
mencerminkan kehidupan tuhan. Teori tentang insan kamil diperkuat dengan teori
asal-usul manusia yang berasal dari pancaran dzat tuhan dan memang bersifat keilahian.
Oleh karena itu, insane kamil berarti tuhan yang Nampak.
Abd al karim ibn ibrohim ibn ‘abd
al karim bin khiliofah bin ahmad bin Mahmud al jilli (767-826 H/1365-1428 M)
yang terkenal dengan teori al insane al kamil mengidentifikasikan insane kamil
ini dalam dua pengertian.Pertama,dalm pengertian kkonsep pengetahuan tentang
manusia yang sempurna.Kedua,terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan
nama dan sifat-sifat allah kedalam hakikat dan esensi dirinya. Menurutnya,
manusia dapat mencapai kesempurnaan keinsaniahnya melalui latihan
rohani(riadhoh) dan pendakian mistik(taraqqi).Latihan ini diawali dengan
kontemplasi tentang nama dan sifat-sifat allah(hudhur).
2.3.
Ciri-ciri Insan Kamil
Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat
yang dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya
aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi
Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal
secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan
merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang
baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.
Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan
perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.
2.
Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil
dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya.
Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya,
maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3.
Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk
pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk
berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam
kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir
dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut
sekarang ini dikenal dengan revolusi.
4.
Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan
Manusai
merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada
hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat
ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian
itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya
sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu
manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak
yang bebas.
5.
Berakhlak Mulia
Insan kamil
juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek,
yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki
pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran,
kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang
memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil
dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan
terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan,
dan kelemahan.
6.
Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr,
bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa
hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen,
immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya
yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan
immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang
paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan
ketentraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi
bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan
semakin rusak.
Kutipan
tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu
seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini
berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan
syari’at Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbag dan seterusnya.
2.4.
Kriteria Dan Cara Pencapaian
Menurut
Syekh Siti Jenar, insan kamil atau manusia sempurna adalah mereka yang telah
memiliki upaya terus-menerus bagi peningkatan dan pembersihan dirinya, yakni
mereka yang telah mampu memisahkan dan melepaskan dirinya dari hal-hal
keduniaan. Karena memasuki wilayah kemanunggalan, walaupun dalam interaksi
fisik kemanusiaan tidak terlepas sama sekali.
Tujuan pembersihan ini ada dua: pertama, untuk mencapai sifat-sifat Allah. Yakni, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia. Tataran ini mengantarkanpelakunya pada jumbuhing kawula Gusti. Kedua, untuk mencapai Dzat Allah. Yakni, mengenal-Nya melalui ma’rifat dan hakikat yang mengantarkan pelakunya kepada pamoring kawula Gusti.
Tujuan pembersihan ini ada dua: pertama, untuk mencapai sifat-sifat Allah. Yakni, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia. Tataran ini mengantarkanpelakunya pada jumbuhing kawula Gusti. Kedua, untuk mencapai Dzat Allah. Yakni, mengenal-Nya melalui ma’rifat dan hakikat yang mengantarkan pelakunya kepada pamoring kawula Gusti.
Dzikir akan
mengantarkannya kepada nurullah sedangkan seorang mukmin akan melihat dengan
nurullah. Dengan daya pancar nurullah itulah seorang mukmin akan menjadi cermin
bagi mukmin lainnya. Orang yang berilmu membuat bayangan, tetapi orang ‘arif
mengkilaukan cermin hati yang di dalamnya terdapat bayangan hakikat. Apabila
mata hati itu bersih berkilauan dan suci, munculah dalam cermin itu berbagai
rahasia Allah berupa hakikat yang dicurahkan kepada hati yang bersih berkilauan
dan suci.
Apabila cermin hati telah sempurna karena selalu dibersihkan dengan dzikrullah hingga berkilauan, pemilik hati itu akan sampai kepada sifat-sifat Ketuhanan dan mengenal sifat-sifat itu. Hal ini hanya mungkin terjadi bila cermin hati kita telah bersih berkilau.
Apabila cermin hati telah sempurna karena selalu dibersihkan dengan dzikrullah hingga berkilauan, pemilik hati itu akan sampai kepada sifat-sifat Ketuhanan dan mengenal sifat-sifat itu. Hal ini hanya mungkin terjadi bila cermin hati kita telah bersih berkilau.
Insan kamil sendiri diartikan
sebagai manusia nan sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan sempurna adalah
sempurna dalam ibadah dan penghidupannya. Dan seseorang dapat dianggap sempurna
jika ia memiliki kriteria tertentu.
Kriteria tersebut dimiliki oleh manusia-manusia biasa yang mau berusaha untuk menjadi ‘luar biasa’ di hadapan Tuhannya. Mereka—terlepas dari para sufi, dai, ustaz, kai, atau orang biasa sekalipun—pada hakikatnya mampu meneladani segala teladan Rasulullah, jika ia meyakini Allah sebagai Rabb-nya, Alquran sebagai pedoman hidupnya, dan menjadikan Muhammad SAW sebagai sebaik-baiknya insan yang patut diteladani.
Kriteria tersebut dimiliki oleh manusia-manusia biasa yang mau berusaha untuk menjadi ‘luar biasa’ di hadapan Tuhannya. Mereka—terlepas dari para sufi, dai, ustaz, kai, atau orang biasa sekalipun—pada hakikatnya mampu meneladani segala teladan Rasulullah, jika ia meyakini Allah sebagai Rabb-nya, Alquran sebagai pedoman hidupnya, dan menjadikan Muhammad SAW sebagai sebaik-baiknya insan yang patut diteladani.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Insan Kamil artinya adalah manusia
sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti
sempurna.
Pada dasarnya semua manusia di dunia
ini menghendaki dirinya menjadi insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana
dicerminkan setiap Nabi/Rasul yang berperan sebagai pembawa risalah sekaligus
figur atau uswatun hasanah yang mencerminkan salah satu sikap insan kamil.
Islam dengan rasulnya sebagai teladan dalam pembentukan akhlak yang mulia telah
memberikan konsep yang jelas tentang insan kamil (manusia sempurna) dalam tolak
ukur kesempurnaan makhluk.
Secara garis besar ciri-ciri Insan Kamil dapat dikatagorikan menjadi tiga
bagian yaitu: Mampu berkomunikasi dengan Tuhan; Mampu berkomunikasi dengan
sesama makhluk; Mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Murtadha Muthahari, Manusia Sempurna, terj. M. Hashem, Jakarta
: Lentera, 2003.
·
Natta Abuddin, 2010. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajawali pers.
·
Raksa Aji, 2011. Ciri-ciri INsan Kamil. http://ajiraksa.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 16 September 2013.
·
Pujangga Putra, 2010. Rahasia mencapai derajat insan kamil. http://syechlemahabang.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 16 September 2013.
·
Suteja, 2011. Teori
dasar tasawuf. Cirebon: Nurjati
press.
0 komentar:
Posting Komentar